Di era digital ini, banyak guru telah berkembang menjadi sosok yang adaptif dan melek teknologi. Mereka mampu mengoperasikan perangkat canggih, menggunakan platform pembelajaran daring, hingga merancang materi ajar dengan pendekatan visual dan multimedia. deposit qris Namun, ironi muncul ketika sistem pendidikan yang melingkupi mereka masih berjalan dengan kerangka yang tak jauh berbeda dari dekade 1980-an. Kurikulum yang kaku, penilaian yang berfokus pada angka, serta struktur birokrasi yang lamban menjadi penghambat besar bagi potensi inovatif para guru masa kini.
Kemajuan Guru yang Tak Diimbangi Sistem
Tak bisa disangkal, guru hari ini jauh lebih siap menghadapi tantangan zaman. Banyak dari mereka yang aktif mengikuti pelatihan daring, menggunakan alat kolaboratif seperti Google Workspace, serta mendesain pembelajaran berbasis proyek yang kontekstual dan relevan. Di sisi lain, sistem pendidikan masih mendorong guru untuk mengikuti format-format lama: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berlembar-lembar, asesmen yang berpusat pada nilai akhir, dan rutinitas administratif yang menyita waktu lebih dari waktu mengajar itu sendiri.
Akibatnya, kreativitas guru terhambat oleh kewajiban administratif yang tidak selalu berkaitan langsung dengan kualitas pembelajaran. Alih-alih berfokus pada pengembangan siswa, banyak energi guru justru habis untuk mengejar laporan dan dokumen yang bersifat formalitas.
Kurikulum yang Lambat Berubah
Meski dunia bergerak cepat, perubahan kurikulum sering kali tertinggal. Kurikulum masih disusun dalam struktur yang terlalu padat, menumpuk materi tanpa ruang eksplorasi yang fleksibel. Guru akhirnya kesulitan untuk menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan murid dan konteks zaman.
Banyak guru ingin mengintegrasikan isu-isu aktual seperti perubahan iklim, etika digital, atau kewirausahaan sosial dalam pembelajaran. Sayangnya, ruang untuk itu minim karena kurikulum lebih menekankan pemenuhan target-target akademik yang seragam secara nasional. Padahal, realitas di lapangan sangat bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lain.
Evaluasi yang Masih Terjebak pada Angka
Sistem penilaian juga menjadi contoh jelas dari warisan pola pikir lama. Siswa dinilai berdasarkan angka dan peringkat, bukan berdasarkan proses, perkembangan karakter, atau keterampilan abad ke-21. Guru yang sudah mulai menerapkan penilaian formatif dan reflektif sering kali harus menyesuaikan lagi penilaiannya agar cocok dengan sistem ranking atau ujian nasional.
Kondisi ini menyulitkan guru dalam memberikan pengakuan terhadap proses belajar siswa yang mungkin tidak sempurna secara nilai, namun kaya secara pengalaman dan pengembangan pribadi.
Administrasi yang Kaku dan Membebani
Salah satu keluhan klasik dari guru masa kini adalah beban administrasi yang berlebihan. Laporan harian, dokumen evaluasi, dan berbagai formulir harus diisi secara manual maupun digital, terkadang secara ganda. Meski teknologi sudah tersedia, sistemnya belum terintegrasi dengan baik sehingga alih-alih mempermudah, justru menambah beban kerja.
Guru yang sudah terbiasa menggunakan alat digital untuk menyusun pembelajaran dan asesmen tetap harus mengikuti format laporan resmi yang konservatif, membuang waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dialokasikan untuk peningkatan mutu pengajaran.
Minimnya Ruang Eksperimen
Banyak guru ingin mencoba pendekatan baru seperti flipped classroom, pembelajaran berbasis masalah, atau pengajaran berbasis komunitas. Namun sistem pendidikan yang konservatif sering kali tidak memberi ruang untuk eksperimen semacam itu. Setiap penyimpangan dari prosedur standar dipandang sebagai pelanggaran alih-alih inovasi.
Akibatnya, banyak guru muda yang idealis merasa frustrasi, dan pada akhirnya memilih menyerah atau beradaptasi kembali dengan sistem lama yang tidak sejalan dengan semangat zaman.
Kesimpulan
Guru-guru masa kini telah menunjukkan kemampuan dan kesiapan untuk menghadirkan pendidikan yang lebih relevan dan bermakna. Sayangnya, sistem pendidikan yang masih terjebak dalam pola pikir, struktur, dan kebijakan lama justru menjadi batu sandungan utama. Ketimpangan ini menciptakan jurang antara potensi individu guru dengan realitas institusional yang membelenggu. Pembaruan sistem yang menyeluruh, mulai dari kurikulum, penilaian, hingga manajemen sekolah, menjadi kebutuhan mendesak agar inovasi para guru tidak lagi terhambat oleh sistem yang tak lagi relevan dengan kebutuhan zaman.